Pages

Jumat, 06 April 2012

Sebuah Persimpangan Bagi Ribuan Jawaban

Hidup. Mudah untuk mengucapkannya, indah pada awalnya tapi sulit untuk menjalaninya. Banyak rintangan dan halangan yang akan datang menghadang. Suatu saat, pasti kita akan dihadapkan pada sebuah  persimpangan. Persimpangan yang mengharuskan kita memilih, antara jalan satu dan jalan yang lainnya. Suatu keputusan butuh pengorbanan, pengorbanan yang akan membawa sebuah keputusan menjadi lebih berarti. Rasa sayang, cinta, peduli yang ada, tak cukup untuk membendung suatu masalah yang akan datang karena diharuskannya sebuah pengorbanan. Dibutuhkan sebuah kepercayaan dan komitmen yang tinggi. Prioritas pun kadang akan menjadi masalah yang menghadang. Meskipun terkadang manusia dilahirkan untuk berprioritas. Tapi di saat kita belum menemukan prioritas utama, maka mungkin kita akan tiba dalam sebuah persimpangan jalan untuk menentukan mana yang diadikan prioritas. Di dalam hidup sebenarnya akan banyak jalan persimpangan, dan tak ada pilihan yang salah saat menemukannya. Kita hanya harus menjadikannya nyata. Bukan angan yang maya. Karena hal yang bersifat maya itu hanya akan mengambang di awan dan terbawa angin ke sebuah jurang. Bukan jurang yang menakutkan dan bukan jurang yang membunuh beberapa orang. Tapi jurang yang membuat kita ter-addicted untuk mengingatnya.


Jikalah kamu terbelenggu pada masalalu, maka biarkanlah masalalu itu membeku di angan. Yang menjadikan kita tak menangis saat mengingatnya tapi justru tersenyum saat mengingatnya. Bekukan semua kenangan yang ada dan jadikan itu sebuah pelajaran berarti untuk menghadapi persimpangan-persimpangan jalan yang lain dan memilih satu dari ribuan jawban yang akan menyerbu. Walau tak semua persimpangan akan berakhir bahagia, tapi percayalah di persimpangan lain akan ada ujung jalan yang menyenangkan.


Inspiring by Milli and Nathan filmmm. On Milli's Novel:) Much love, readers!


Published with Blogger-droid v2.0.4

A Half Another Wings For Me

Hari ini udara Malang cukup sejuk. Cukup sejuk hingga membuatku sesak nafas. Siksaan semacam ini sudah biasa untukku terutama saat aku baru mengalaminya sekitar tujuh tahun silam. Ya, Asma yang kuderita adalah permanen. Menurut dokter, tak ada cara lain menyembuhkannya kecuali aku rutin mengikuti self-therapy setiap hari di Rumah Sakit. Menurutku itu sangat menyabalkan, bayangkan saja! Menghabiskan waktu berjam-jam di Rumah Sakit hanya untuk berobat. Lebih baik bermain piano sambil bernyanyi. Maklum, aku adalah seorang pianis ternama di Indonesia.

"A one sucking monday morning arbwh"

Aku melangkah lambat menyusuri koridor kelas XI Languages. Disini da 5 ruang kelas XI Bahasadan 5 ruang kelas X. Kelasku terletak di lantai dua dan dari balkon kita bisa langsung memandang taman belakang sekolah yang keren itu,. Tiba tiba Lea menghambur dipundakku sambil mencubiti pipiku saat aku berdiri dan menyandarkan tubuhku pada dinding balkon.

"Kenapa Lea?"

"Ada anak baru tuh! Muka nya mirip Rizky Alatas! Anak kelas 10!"

"Bodo ih!"

"Yee miss miaw maarah!"

Aku memalingkan muka kembali ke taman. Sejak aku masuk ke SMA Saga ini udaranya memang selalu sejuk. Saat aku akan berbalik ke kelas lagi, aku menabrak seseorang. Cowok pula. Aku membantunya berdiri karena ia tersungkur di koridor kelasku. Aku sempat kaget saat melihat cairan merah di hidungnya.

"Nih, hidung lo mimisan"





kataku sambil menyerahkan saputangan lalu berlalu meninggalkannya. Lea hanya tersenyum penuh arti memandangku tadi.

Hujan sudah mengguyur wilayah balaikota Malang an sekitarnya. Entah seluas apa air ini jatuh membasahi bumi yang semakin hari semakin terasa seperti neraka saja. Aku masih berdiri di lobby depan sekolah untuk menunggu Mang Iwan menjemputku tapi tak juga kulihat mobil ber plat B 544 URA milikku. Hujan semakin deras saja. Hanya tersisa sekitar 20an anak disana. Tibatiba seseorang menghampiriku.

"Mau pulang bareng gue?"

"Hm? Nggak deh. Elo siapa?"

"William Tanosoedibjo. Anak kelas 10. Anak baru"

"Oh"

"Lo siapa?"

"Miyoko Sakura. Panggil aja Ara, anak kelas 11 kelas Bahasa 3"

"Gimana? Mau pulang bareng gue?"

"Gue kan nggak kenal elo"

"Gue janji lo akan sampe rumah dengan selamat"





Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba dia memakaikan jaket tebalnya ke badanku. Ia berjalan mengimbangiku dan berusaha menutupiku dari hujan. Setelah di jalan, aku dan dia hanya beberapa kali bicara, tentunya hanya tentang jalan menuju rumah. Tiba-tiba dadaku sesak, benar-benar sesak. Aku rasakan tubuhku mulai lemas dan rasanya tak ada kekuatan. Aku terbang.

Aku membuka mataku dan sekejap suasana putih mengisi kornea mataku. Dari aromanya, aku tau ini rumah sakit. Aku mendapati William baru saja masuk bersama Mama dan Mas Chris. Ada sebersit pandangan 'kasihan'di mata William. Apa maksudnya?

"Ngapain aku disini? Mending aku dirumah terus main piano!"

"Sayang, jangan begitu dong. Tadi kan Willy panik trus dia membawa kamu kesini"

"Ya sudah, Ma. Kapan aku boleh pulang?"

"Besok siang. Sekarang kamu istirahat ya?"





Aku hanya menatap Willy sambil menyipitkan mata. Itu pertanda siaga satu bagi orang yang akan menjadi musuhku. Aku tak suka rumah sakit. Sampai kapanpun tak akan suka! Tidakkah mereka tau itu?

Well hari ini adalah hari Sabtu. Itu artinya sekolahku libur. SMA Saga adalah satu-satunya sekolah di Malan yang memiliki weekend time. Dan aku menyukai itu.  Aku baru saja akan menyelesaikan piano version Who You Are milik Jessie J saat bel rumahku berbunyi. Bibi mengatakan bahwa yang datang adalah Lea an seorang cowok. Hah, mungkin Robby, pacar baru Lea.

"Haloo my swiitii!"suara Lea mengagetkanku"

"LLeeaaa!! Missing you badly"

"Mee too! See! Who's comin here?"

William. Untuk apa dia disini?

"Wi.. Willy.."

"Iya kak. Aku mau ngomong sama kakak"

"Gue tinggal dulu ya, Ra"

"Mm.. Iyaa"






Aku memberi isyarat pada Willy agar dia mengikutiku untuk menuju ke kolam renang belakang rumah. Ia hanya tersenyum dan mengikutiku. Jujur saat itu aku merasa gugup. Darahku berdesir. Bah!

"Aku pengen ngobrol sama kamu, Ra"

"Ngomong aja!", kataku cuek.

"Sekarang kamu umur berapa?"

"Lima belas. Kamu?"

"Hah? Serius? Satu bulan lagi aku enam belas"

"Gausah panggil kak ajalah. Tua'an kamu juga!"

"Kamu mau kan jadi temen aku?"tanyanya lagi.

"Kamu kan adek kelas"

"Aku nggak peduli. Mau ya?" jari kelingkingnya terulur.

"I did it!"






Kami berdua tersenyum. Tak lama kemudian Lea menyusul dan merangkul kami. Sekarang kami berempat, ya, plus satu orang cowo. Pacar Lea si Robby itu. Banyak yang membully kami karena diantara kami hanya Willy yang masih kelas 10. Namun meski begitu, secara sikap dan usia Willy justru jauh lebih dewasa dariku. Maklum saja pada saat SMP aku ditunjuk mengikuti program 2 yearson sehingga sekolahkuselesai hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun.

Semenjak mengenal Willy dan bersahabat dengannya, aku makin rajin belajar dan ku makin rajin mengikuti self-therapy. Willy sangat sering mengantarkanku berobat, les, bahkan hanya untuk sekedar jalan-jalan. Kau tahu? Dia bahkan rela mengikuti program akselerasi agar angkatannya setara denganku. Mengaumkan ya?

"Gimana Wil sekolah kamu? Nggak berat? Waktu SMP aja aku berat banget"

"Tergantung kemauan dan kemampuan kan?"katanya sambil mengusap rambutku lembut.

"Kamu bener. Oh iya waktu kemarin aku ulang tahun kamu kenapa telat?"

"Aku gugup ketemu kamu"

" Ih apaan sih Willy!!"

"Beneran Ra! Aku nggak tau sejak kapan aku ngerasa gini. Aku sayang banget sama kamu, Ra. Kamu mau nggak adi pa.."

"Nggak lucu, Willy! Nggak ada yang boleh pacaran sama aku!"






Aku langsung meninggalkannya yang masih menatapku dengan sedih. Aku tau aku menyakitinya tapi aku trauma. Kau tahu? Penyakitku ini membuatku terisolir, aku tak boleh jatuh cinta di dalam waktu yang sempit ini.

Sudah satu minggu sejak kejadian itu aku mangkir dari sekolah. Ponsel, dan semua alat komunikasi aku putus. Aku tak mau berhubungan dengan banyak orang. Penyakitku semakin parah. Hal yang menyakitkan adalah, aku mengalami syndrom glukolanber yang menyerang saraf otak kanan ku. Mau tak mau aku harus mengikuti self therapy secara rutin. Tapi dokter mengusulkan aku berangkat ke Jepang minggu depan.

"Miyoko Sakura.." dia menghampiriku yang sedang duduk di kursi roda di taman rumah sakit.

"William!"

"Kenapa kamu nggak mau ketemu aku dan yang lain?"

"Aku nggak mau Wil, aku nggak mau mereka tau kalau aku sakit.."

"Syndrome Glukolanber?"

"Kamu.. Tau?"

"Kamu inget waktu kamu pingsan dan aku nganterin kamu ke rumah sakit? Darisitu aku tau kamu sakit apa. Aku sedih dan sakit banget waktu denger kamu sakit"

"Makasih Willy"aku menarik badannya dan mengecup keningnya. Aku tau, tak menjadi kekasih bukan berarti tak menjadi teman, bukan?

"Sama sama Ara. Kamu selalu bisa menenangkan aku kapanpun aku panik"

"Thanks my princess"

"Eh Wil minggu depan aku ke Jepang"

"APA?!"

"Kamu mau aku sembuh kan?"

William tiba tiba terdiam dan dalam sekejap dia memelukku.

"Berapa lama kamu pergi?"

"Tiga tahun, mungkin"

"Aku nggak mau kamu pergi. Cuma itu"

"Aku pergi untuk kembali, aku bukan pergi untuk menyakitimu, aku pergi untuk kembali memelukmu dan bersamamu. Aku kembali untuk menjadi malaikatmu. Aku pergi bukan untuk selamanya. Aku cuma ingin sembuh dan tertawa bersamamu. Dengar, pohon sakura disamping kita inilah saksinya"

"Janji kan, Ra?"

"Ara janji"

Tiba-tiba Lea muncul.

" Ra, kamu harus tau. William udah suka sama kamu sejak dia pertama kali tahu kamu di koridor kelas. Waktu itu dia nabrak kamu terus nganter kamu pulang biar bisa kenalan sama kamu"kata Lea,

" Oh ya? Is that really, William?"

" Ya, makanya kamu cepet pulang!"





Ada perasaan tak rela disana, perasaan sedih. Terutama kehilangan sahabat-sahabatku. Entah mengapa berat meninggalkan Indonesia. Padahal tiga tahun lagi aku akan kembali bersama mereka.

Malam ini aku  menulis surat untuk William. Setelah selesai aku memberikannya pada Kak Christ. Aku berpesan padanya, saat aku pulang ke Indonesia nanti, ia harus memberikannya pada William. Setelah itu aku tidur karena lusa aku akan berangkat ke Jepang. Pagi ini aku terkejut saat Lea, Robby dan Willy datang dan membawa Instax. Mereka mengajakku berfoto di belakang rumah sakit. Banyak pose kami abadikan. Tapi yang paling kuingat adalah saat Lea mencium pipi kiriku dan Willy merangkul kami berdua sambil menempelkan kepalanya ke kepalaku.

"Ara jangan lama-lama ya perginya. Cepat pulang. Sering-sering skype-an, twitteran"

"Ara pasti pulang. Ara janji sama kalian. Percaya?"

"PERCAYA!"

"Ara, aku pengen ngomong"

Willy menarikku menjauh dari mereka.

"Apa Wil?"

"Kamu nggak mau bener Ra jadi pacar aku? Kenapa?"

"Wil, aku nggak mau kehilangan orang yang aku cintai. Aku nggak mau dicintai karena kamu kasihan, aku nggak mau membebani kamu. Perasaanku emang ada buat kamu, tapi raga ini nggak memungkinan buat aku milikin kamu. Aku terlalu nggak pantas untuk kamu"

"Kamu salah Ra. Kamu udah slalu bikin aku 'ada'!"

"Tunjukkan itu tiga tahun lagi!"





Aku tersenyum lalu bersayonara bersama mereka. Lea menangis sejadi-jadinya sementara Willy hanya bisa menatapku sedih. Tadi aku juga sempat memberikannya DVD Compact lagu BCL - Aku Tak Mau Sendiri. Untuk mengenangku.

Hari keberangkatanku tiba. Semua mengantarkanku ke bandara Djoeanda. Mereka berharap aku pulang secepatnya. Ya, janji itu pasti kutepati. Pasti. Saat aku berada di Jepang, aku disambut oleh suster-suster yang ramah. Disini sedang musim semi. Bunga sakura disini banyak, tak seperti di Malang yang hanya satu di belakang rumah sakit itu. Aku memetik satu, tapi entah bagaimana sakura itu jatuh sebelum kupetik. Padahal masih segar.

Tak terasa sudah hampir dua tahun aku disini. Pagi ini aku berniat mencari mama untuk mengajaknya berjalan-jalan. Kata suster mama sedang ada di ruang dokter Kim. Saat aku akan memasuki ruangan itu, aku mendengar percakapan mama dengan dokter Kim.

(I've translate this to indonesian)

"Jadi dok, bagaimana dengan kondisi Ara?"

"Virus nya sudah menyerang hampir 50% otak kanan nya. Kemungkinan masa hidupnya hanya tinggal 7 hari lagi"

"A.. Apa dok?"

"MA! ANTERIN AKU PULANG KE INDONESIA SEKARANG! SEKARANG MA!!!"

"A.. Ara?"





Akhirnya mama menuruti permintaanku, tapi sebelum itu aku membawa 4 bunga sakura untuk kuberikan pada seluruh sahabatku. Di sisaa akhir hidupku ini aku ingin menghabiskannya bersama sahabaat-sahabatku. Aku menelfon Lea bahwa besok aku akan pulang. Ia begitu gembira tanpa tahu apa yang terjadi dibalik kepulanganku.

Aku sudah sampai dirumah, dan disanalah aku mendapati William, Lea dan Robby. Mereka memelukku bergantian. Willy tersenyum lega, mungkin ia berfikiran bahwa akku telah menepati janjiku bahkan lebih cepat dari perkiraan. Lea dan Robby izin pamit karena ibu Lea sudah menelfon untuk meminta mereka menjaga adik Lea yang masih kecil. Tinggallah aku dan Willy.



"Hunn, aku pulang dulu boleh kan?"

"Boleh Lea, eh ini aku bawain sakura. Nanti dimasukin air ya, pasti nggak layu"kataku sambik memberikan sakura itu kepada Willy, Lea dan Robby.

"Makasih ya Ra"kata Robby.

"Anytimee Rob!"

"Wil?"

"Ra?"

"Aku pengen hidup selamanya. Aku pengen bisa terus terlihat, menikmati kehangatan seperti ini. Found my half wings that lost, I wanna life long da time. I wish to God, I will live forever"

"Nggak ada yang kekal di dunia ini, Ra"

"Aku tau. Wil, aku boleh kan peluk kamu?"

"Im yours, Ara!"

"Ka.. Kamu masih nunggu aku?"

"Masih, sampe sekarangpun masih. Kita jadian, kamu mau?

" Yes, Wil!"




Aku menangis sejadi-jadinya. Sesendu-sendunya. Kak Christ yang melihatku dari lantai atas hanya bisa memancarkan muka sedih. Damn, I miss em already like i didnt met em!

Ini hari kedua aku di Indoneesia. Sekarang mereka sudah menjadi anak kuliah. William menjadi lulusan terbaik tahun lalu. Nilai UNASnya tertinggi se-Jawa Timur. Aku bangga, pacarku berhasil!Siang ini aku mendadak pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Elektrokardiograf dan Elektrokardiogram pun sudah dipasang, tapi setengah jam kemudian semua berhenti. Aku memohon pada Tuhan, beri aku waktu 2 hari untuk bertahan dan bertemu lagi dengan mereka.



"Bu, luar biasa sekali! Alatnya bekerja lagi!"

"Benarkah.. Suster?" Mama masih berkaca-kaca dan tak percaya.

"Iya bu, ini kehendak Tuhan"




Singkatnya setelah aku pulang, aku mengajak Willy, Lea, Robby, Mama, Kak Christ dan Papa yang baru pulang ke Beverly Hills. Pemakaman yang luas sekali dan ada taman sakura serta ilalangnya yang indah. Aku mengajak mereka kesana untuk berfoto. Sesampainya disana aku memeluk mereka satu persatu dan menangis sambil memandang hamparan ialang. Aku hendak mengambil sakura tapi bunga itu jatuh dan hancur padahal sebelum itu dia sangat segar.



"Semua, lihat aku. Willy, kesini"

Willy merangkulku.

"Aku bukan Tuhan yang kekal, abadi. Aku seperti sakura yang bisa mekar, layu lalu gugur. Aku bukan benda maya, tapi ruh ku adalah kemayaán yang nyata. Mungkin jika aku diberi pilihan, aku ingin hidup lebih lama. Tapi apa Tuhan mau? Buat Mama Papa, maafin smua kesalahan Ara. Kak  suratnya jangan lupa, jangan kangen aku. Lea dan Robby, sampai jumpa ya, you are best! Dan Willy, kamu harus bisa move on cepat atau lambat. Ya?"

"Kamu ngomong apaan sih Raa? Aku nggak ngerti"Willy menangis dan memelukku erat. Kudengar yang lain menangis juga.

"Kamu, cinta pertama sekaligus terakhirku Wil. Makasih ya"sedetik kemudian serasa ada yang pergi dariku.




Melayang.

Aku dimakamkan tepat dibawah pohon sakura di Beverly Hills. Disini aku melihat, disini aku memantau, walau tak disentuh, walau hanya satu arah. Aku bisa bertemu mereka walau hanya sekejap dan sesaat, meninggalkan secercah cerita. Mendengar keluh kesah mereka dan membuat mereka lebih baik. Kak Christ telah memberikan surat itu. Sekarang aku tau, bahwa tak semua keinginan bisa tercapai, dan bila itu tak tercapai berarti sudah ada kejutan lain yng Tuhan akan berikan. Termasuk Williaam, aku membantunya move on. Dia harus meninggalkanku. Hidupnya masih panjang. Sementara semua sakura yang kuberikan tak pernah layu bahkan hingga detik ini. Sakura itu akan abadi. Selamanya. And for me, goodbye world welcome heaven. Wait uáll!

A letter from Ara to Willy..

Dear Will..

Seandainya Ara nggak kenal kamu, mungkin Ara nggak sesedih ini waktu  mau pergi ke Jepang. Sebenernya aku nggak yakin bakal balik, tapi aku tetep sayaaaaaangg banget sama kamu. Seandainya aku angin, aku akan berhembus kemanapun dan ngikutin kamu pergi. Seandainya aku bintang, aku akan terus bersinar nyinarin jalan kamu yang gelap. Dan sayangnya aku manusia yang bisa berhenti bernafas kapanpun. Aku masih belum nemuin separuh sayapku yang hilang. Lost my half wings n I cant fly without it. Cinta kita nggak complicated, cinta kita sedih banget. Makasih udah sayangin aku apa adanya. Aku kangen banget sekarang sama kamu. Tapi ini saatnya kamu move on Wil. Jangan nunggu aku yang udah maya. Kita terbatas sama dinding yang nggak bertepi. Banyak cewe yang nunggu kamu. Percaya, cinta ini bakalan abadi. Aku pergi Wil, kali ini buat selamanya tapi percayalah Wil kita akan ketemu lagi di tempat yang indah. Aku nggakmau kamu sedih wil, tapi sering-sering juga ya dateng ke rumah aku. Kamu boleh nangis ato ngapain aja. Wil, mungkin sekarang ragaku pergi, tapi ruh ku nggak pergi kok Wil. Aku bakal slalu jadi malaikat buat kamu. Now I believe you are anothter half wings for me:) Jangan pernah anggap aku pergi bener William, anggap aku pulang sekolah dan kita akan bertemu lagi esok. Biar kamu nggak ngerasa sendiri. Love you so much! - Myoko Sakura

William tersenyum dalam tangisnya. Sekarang aku bisa tenang dan lega. Ya, mungkin sebuah rencana ada yang terkabulkan ada yang tak menjadi kenyataan. Saat rencana itu terkabulkan, itu artinya kita memperoleh izin Tuhan untuk membuatnya jadi nyata. Tapi jika hal itu tak menjadi nyata, maka biarkanah itu menjadi angan yang tersimpan, angan yang akan abadi di hati dan fikiran. Meskipun itu tak menjadi kenyataan, setidaknya sebuah kesemuan akan mempertemukan kita pada sebuah ujung jalan, the fina result of all questin. And this story is END:)

Published with Blogger-droid v2.0.4
See You Soon! Keep Read, Enjoy and Love!