Pages

Kamis, 26 Januari 2012

Sang Pembunuh Mentalku


Axelland Keyvara, panggil saja aku Key! Banyak orang mengenalku sebagai gadis 16 tahun yang memiliki cukup banyak prestasi dalam bidang Balap Mobil dan Olimpiade Fisika. Semua terasa indah sampai pada akhirnya hari ini aku harus kehilangan salah satu orang yang paling berharga dalam hidupku, Mama. Angin berhembus lembut seakan berusaha mengeringkan air mata yang sedari tadi terus kubiarkan mengalir. Tapi tetap saja aku terus terdiam di depan nisan mama, mencoba mengajaknya bicara tapi suara lembut itu tetap saja membisu. Untuk selamanya. Axel menarikku pelan dan mencoba untuk mengajakku pergi, tapi ragaku merasa ingin disini lebih lama lagi.
“Key, pulang! Ayolah”
“Aku, aku, masih mau disini Xel!” jawabku terbata.
“Kamu harus tau, mama tidak menyukai kita yang terlalu bersedih karena ditinggalkannya”
“Iya, tapi dia pergi begitu cepat! Papa memang tidak punya mata sampai-sampai jadi begini keadaannya?!”
“Key, papa sama sekali tidak bermaksud membuat mama pergi. Tapi ini sudah kehendak Tuhan dan kamu harus mengerti itu”, ucap papa menenangkanku.
“Apapun alasannya, itu semua tidak akan mengembalikan mama! Papa sama sekali tidak mengerti perasaanku!”
Aku berlari meninggalkan mereka, tapi kulihat Axel menyusulku. Kugenggam tangannya dan kuajak dia pergi bersamaku. Kuserahkan kunci mobil Pajero Sport-ku padanya. Otakku masih terlalu lemah untuk mengonsentrasikan fikiranku ke jalanan liar. Axel memasuki mobilku dan memulai untuk berperang dengan para armada roda empat yang tersebar di jalanan. Kami pergi ke villa untuk menenangkan diri. Sesampainya disana kami mencoba bicara berdua.
“Sudahlah Key, mama pasti akan tersenyum melihat kita bahagia lagi. Mama itu akan selalu jadi bintang di sini”, ia menyentuh dadanya mengisyaratkan bahwa disitu ada hati yang akan tetap diisi mama.
Baru kali ini ku lihat Axel Enrique menangis. Udara dingin puncak malam itu bak mengunci rapat nadiku, membuatku sesak seperti membunuhku perlahan dan hujan gerimis malam itu seolah menjadi lagu pengiring kesedihanku. Seperti akhir dari detik waktu dan kami terjebak dalam lautan air mata.
            Setelah hari itu, rumah terasa sepi. Papa tetap sibuk dengan pekerjaannya, Axel tetap berkutat dengan kulihanya dan aku tetap berusaha konsen untuk sekolah. Saat aku sampai di sekolah, kulihat Christy berjalan kearahku, ya dia adalah sobatku dari SMP.
“Key.. Apa kabar?” sapanya lembut.
“Oh, hai! Baik kok.. Kamu gimana? Aku kangen!” ucapku lalu memeluknya erat.
“Baik-baik aja kok. Turut berduka cita ya”
“Syukur deh. Aku masih terngiang-ngiang wajah mama, hanya perlu adaptasi menurutku. Thanks ya
“Tenang Key kan masih ada aku. Oh iya, kamu tahu ‘Hot Fire’ kan? Band nya Enrico Cirus?”
“Iya Christ, thanks a lot. Aku tahu, ada apa?”
“Sama-sama. Mereka membutuhkan vokalis baru dan Rico memberitahuku bahwa dia mengincar kamu sebagai vokalis barunya. Kalau berminat, kirim email saja ke dia. Bagaimana?”
“Okey. Aku rasa aku berminat. Apa emailnya?”
Terang saja aku langsung menyetujuinya karena aku memang ingin menanggalkan statusku sebagai pembalap, karena hal itu akan terus mengingatkanku pada mama. Mungkin rasa sakitnya seperti pedang yang menghujamku berulang kali tanpa memberiku ampun!
            Malamnya aku mengirim email ke Rico. Dia memintaku menemuinya di studio 4 SMA kami, SMA Athena. Setelah aku menyambanginya di studio 4, pertama-tama Rico segera memperkenalkanku kepada temannya satu persatu.
Guys, this is Axelland Keyvara. Vokalis baru kita.  Dan Key, ini Ronald, ini Richard dan ini Revan”
“Hai semua”
“Hai Key” mereka menjawab serempak.
Seiring dengan berjalannya waktu, band ini berkembang pesat. Banyak kejuaraan berhasil kami raih. Hal itu berdampak positif  bagi kami, tentunya untuk memacu prestasi kami. Suatu sore seusai latihan Revan mengajakku pergi ke rumahnya. Dia berkata ada hal penting yang harus kami bicarakan.
“Key, aku dengar kamu sedang stress berat? Benar?”
“Ya, mamaku pergi setelah sebuah kecelakaan dengan minibus. Tapi papaku selamat”, jawabku sambil menerawang pada kejadian itu.
“Oh ya? Aku turut berduka cita. Hmm.. Aku tahu cara membuatmu melupakan semua beban itu”
“Hah? Apa caranya?”
“Ikuti caraku. Aku memakai ini. Dan aku melupakan semuanya”
Revan menunjuk sebuah plastik kecil yang berisi serbuk putih dan sebuah suntikan disampingnya.
“Apa itu... na.. narkoba?”
“Ya, ini narkotika jenis kokain. Tapi kau tahu ini sudah membuatku lupa akan semuanya. Haha!”
“Kau yakin? Aku ta..”
“Kau tak perlu takut. Jika ini tak berfungsi, kembalikan saja padaku. Kuberikan padamu gratis untuk pertama kali” katanya memotong kalimatku yang belum selesai.
“Baiklah. Terimakasih”
“Tapi jangan beritahu anak-anak HF atau siapapun yang kamu kenal kecuali aku!”
“Iya aku mengerti”
Ketika sampai dirumah aku mengunci pintu rapat-rapat. Sempat terbesit rasa takut dalam benakku. Tapi hasratku mengalahkan semuanya. Kucampurkan narkotika itu dengan alkohol dan menusukkannya dalam lengan kiriku. Sakitnya tak sebanding dengan sakit mentalku. Dalam sepuluh menit tubuhku melemas, beban fikiranku terasa menghilang seperti bulu yang tertiup angin dan otakku seperti menari-nari di awan. Esoknya aku terbangun pukul 05.00 karena ketukan di kamarku
“Siapa?”
“Axel, masa kerbau sih?”
“Oh. Sebentar”, kataku seraya membuka pintu.
“Tumben masih kusut biasanya kamu sudah rapi”
“Haha. Aku sedang malas”
“Ya sudah kalau begitu. Kakak kuliah dulu ya, ada penelitian di laboratorium Universitas kakak”
“Yup!”
Axel pergi dan aku mulai melangkahkan kaki untuk pergi ke toilet. Anehnya, setelah mandi aku justru merasa pusing, kepalaku seperti baru dihujam batu besar, badanku menggigil dan pandanganku kabur. Rasanya seperti benar-benar dipenjara, begitu menyiksaku. Bahkan nafasku terasa sesak seperti paru-paruku sudah busuk tak mau menerima oksigen lagi. Di sekolahpun aku melamun, sampai-sampai para guru dan tentunya Christy ikut menegurku.
“Kamu kenapa?”
“Ya? Jangan khawatir, semua baik-baik saja!”
Aku meneruskan menyimak pelajaran tapi rasanya fikiranku sudah terbunuh oleh algojo. Mendadak tak ada yang bisa aku fikirkan. Mungkin untuk satu tambah satu pun aku tak tahu harus menjawab apa!
            Hari ini aku menelpon Revan, memintanya untuk memberikanku narkoba lagi. Percobaan kemarin berhasil membuatku ‘senang’ dan membuatku lupa akan semua hal termasuk mama.
“Berapa semuanya?”
“Tujuh ratus lima puluh ribu. Transfer saja ke rekeningku”
“Beres”, ucapku.
Aku menutup telpon. Satu jam kemudian Revan menyambangiku di gang sempit samping sekolah dan memberikan titipanku. Aku bahkan sempat berfikir mengapa negara ini mengharamkannya, padahal nikmatnya seperti angin yang berhembus kencang dan pergi kemanapun ia mau. Narkoba dari segala jenisnya pun sudah pernah kucoba. Rasanya benar-benar seperti di neraka jika aku harus hidup tanpa narkoba,  rasanya seperti bernafas tanpa udara. Tubuhku seperti dihujami tombak panas, sakit disekujur tubuhku. Aku hanya memandang iPadku, bosan lalu aku membantingnya dan kulihat layarnya retak. Ku cakar lenganku hingga berdarah dan kujambak rambutku. Kusulut rokokku lalu kutelpon Revan lagi tanpa melihat panggilan keluarku.
“Van, heroin sama ganja ya untuk lusa. Lima puluh gram sekalian”
“Apa?! Kamu ngomong ap-”
Tiba-tiba Axel memasuki kamarku.
“Ya Tuhan! KEYVARA! Apa yang kamu lakukan?!”
“Ax.. Axel.. Aku..”, aku memandangnya nanar. Perasaanku campur aduk antara bersalah dan sedih telah membohongi Axel padahal ia sayang sekali padaku.
“Jadi kamu jadi kurus dan jadi mata panda selama ini gara-gara memakai narkoba? Kenapa harus begitu? Kenapa?!”
Belum sempat aku menjawabnya, papa masuk dengan wajah berapi-api.
“Papa dapat panggilan ke sekolah kamu hari ini dan kamu tahu apa? Mereka memprotes papa karena nilai ulangan kamu akhir-akhir ini takpernah lebih dari 6. Kartu kredit kamu juga mengalami pembengkakan, ada aa.. Ya ampun Key! Kamu merokok?!!”
“Dan dia sudah memakai narkoba, Pa”
“APA?”
“Haha, peduli apa papa?”, kataku sambil menginjak rokok itu.
Papa hendak menamparku tapi Axel menahannya. Aku terjatuh lalu menangis. Otakku terasa membeku dan sakit. Tapi itu semua kulakukan karena papa tak pernah memberiku perhatian. Keesokan harinya aku mendengar berita penangkapan Revan dan hari itu pula aku dibawa ke panti rehabilitasi.
            Awalnya berada disana sangat sulit. Kau tahu? Di awal aku berada disana tiap malam aku menangis dan sesekali menjerit karena menahan hasrat untuk tak menyentuh narkoba. Tapi akhirnya ini aku berhasil lolos dari pembunuh yang membunuhku secara berkala. Kali ini aku berjanji untuk kembali menjadi aku yang dulu. Oh ya, Revan dikeluarkan dari HF juga dan Rico CS meminta maaf padaku atas kejadian itu. Sekarang aku menyadari bahwa aku harus berfikir dua kali untuk melakukan sesuatu dan harus menggunakan logika juga untuk memutuskannya. Remaja memang labil tapi ada baiknya kita mengatur emosi itu. Tuhan, mama, dan semua maafkan aku. Terima kasih Tuhan Kau telah memberiku kesempatan lagi untuk hidup bersama mereka yang kusayangi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Galls, just tell.. Ini juga cerpen yg aku kirim buat lomba di Jatim :) hehehe.. Doain menang ya, kamsahamnidaa ^o^v

0 komentar:

Posting Komentar

See You Soon! Keep Read, Enjoy and Love!